BABAD DINASTY KI AGENG MALELE CENGKRONG ( Pedoman Sejarah Keluarga Pancoran )

*Runtuhnya Kerajaan Kediri ( 1222 M )

Kitab Pararaton menyebutkan raja Kediri bernama Dandang Gendis ( Sri Kertajaya ).  Pada suatu ketika raja meminta kepada para Bujangga penganut Agama Siwa dan Budha supaya menyembah Raja. Para Bujangga menolak raja lalu memperlihatkan kesaktiannya dengan memancangkan tombak di tanah dengan ujungnya di atas dan lalu raja duduk di atas ujung tombak dalam bentuk Bhatara Guru, berlengan empat dan bermata tiga. Para Bujangga tetap menolak, lalu melarikan diri ke tumapel berlindung pada Ken Arok. Sejak itu Tumapel tidak menyukai kekuasaan Kediri.

Kembali kepada Raja Kediri Sri Kertajaya punya adik perempuan bernama Diah Kertajati. Diah kertajati kawin dengan anaknya Empu Sedah ( Penawasikan ) yang bernama Ida Bang Guwi. Empu  Sedah mempunyai seorang putra Ida Bang Guwi dan Seorang Putri Ida Keniten.

Pada waktu itu Empu Sedah menjadi penasehat di Kerajaan Daha ( Kediri ). Karena mengambil anak bangsawan ( Raja ) Ida Bang Guwi bersama istrinya Diah Kertajati dibuang dan diasingkan. Beliau ini lari dan mengungsi di Tumapel mengikuti jejak brahmana yang di usir oleh Kertajaya beberapa tahun sebelumnya. Tidak lama kemudian para Brahmana menyetujui penobatan Ken Arok sebagai Raja di Tumapel dan Negaranya bernama Singosari dengan Gelar penobatan : Sri Ranggah Rajasa Batara Sang Amurwabhumi. Dan kemudian beliau menyerang Daha.

Tentara Daha dipimpin oleh adik raja yaitu Mahesa Bungalan. Pertempuran terjadi di utara Genter. Mahesa Bungalan bersama menterinya Gubar Baleman gugur di Medan Perang. Raja Dandang Genis mengundurkan diri dari pertempuran lalu kembali kea lam Dewa-dewa bersama pengikutnya.

 

*Kerajaan Singasari

Pada masa pemerintahan Kediri Daerah Tumapel yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi, merupakan sebuah daerah yang dikuasai oelh seorang raja bawahan ( alkuwu ) yang bernama Sri Tunggal Ametung. Sri Tunggal Ametung adalah putra Sri Kameswara. Sri Kameswara adalah adik kandung dari Diah Kelisuci yang diambil oleh Erlangga yang merupakan leluhur dari Raja Dandang Gendis ( Kertajaya ). Pemerintahan Sri Tunggal Ametung tidak begitu kita ketahui dengan pasti. Kedudukan berakhir setelah Tunggal Ametung dibunuh oleh Ken Arok. Sepeninggal Tunggal Ametung, Ken Arok lah yang menjadi Raja di Tumapel. Dan atas bantuan Brahmana maka pada tahun 1222 M dia dapat menaklukan Kediri dan mendirikan Wangsa baru yaitu Wangsa Rajasa.

Pada tahun 1169 Saka ( 1224 M ) Ken Arok di bunuh oleh seorang Pengalasan atas suruhan Anusapati anak tirinya ( Tunggal Ametung+Ken Dedes ) dengan sebilah keris Empu Gandring yang dipakai membunuh Tunggal Ametung dicandikan di Kegenengan.

Sepeninggalan Ken Arok, Anusapati yang menjadi Raja. Beliau memerintah selama ± 21 tahun ( 1227 sd 1248 M ). Anusapati di bunuh oleh Tohjaya ( anak Ken Arok ± Ken Umang ) Anusapati di bunuh pada sabungan ayam dari belakang dengan keris yang sama ( Empu Gandring ) dan di candi kan di Kidal.

Tohjaya tidak lama pemerintahannya beberapa bulan saja dalam tahun 1248 M pada masa pemerintahan terjadi banyak pembrontakan yang dilakukan oleh orang-orang sinelir dan orang-orang Rajasa. Orang-orang Sinelir dan Rajasa menyerbu istana dalam penyerbuan itu Tohjaya luka kena tombak kemudian di ungsikan ke katalumbung dan akhirnya tewas dan dicandikan di katalumbung.

 

*Pemerintahan Wisnu Wardhana*

Sepeninggal Tohjaya pada tahun 1248M, Ranggaweni dinobatkan menjadi raja dengan gelar : Sri Jaya Wisnu Wardhana. Dalam menjalankan pemerintahan di bantu oleh Mahesa Cempaka yang di beri gelar sebagai Ratu Anggabaya ( Narasinghamurti ) kedua orang ini memerintah bagaikan Wisnu dan Indra.

Sepeninggal raja Ranggaweni di gantikan oleh anaknya Kertanegara (1270M). Kertanegara mengantarkan Singasari ke pucak kejayaan. Ia dapat menaklukan Sumatra, Jawa, Bali Bahkan sampai ke Pamalayu.

♦Dari Perkawinannya dengan Putri Daha mempunyai 4 (empat) orang putri ( Turukbali/ Kakak dari Jayakatwang) yaitu :

  1. Sri Parameswari / Dewi Tribuanaswari
  2. Dewi Narendraduhita
  3. Dewi Pradnyaparamita
  4. Dewi Gayatri

⋆ Dari Perkawinannya dengan anaknya ( Ida Bang Guwi + Diah Kertajati ) yaitu Diah Komala melahirkan seorang putra yang bernama Ki Ageng Cengkrong Bang. Pada masa pemerintahan Kertanegara anaknya ( Ki Ageng Cengkrong Bang ) diangkat sebagai raja Bawahan ( Akuwu ) di daerah Terung yang bergelar : Rakyan Wuru Agraja oleh raja Jayakatwang dari Kediri. Pada masa pemberontakan Raja Jayakatwang dari Kediri, Kerajaan Singasari dapat ditaklukan. Raden Wijaya bersama pengikutnya melarikan diri dan pergi ke Terung untuk berunding dengan saudaranya Ki Ageng Cengkrong Bang. Ki Ageng Cengkrong Bang mengambil istri dari anaknya Wiraraja saudara tua dari Ranggalawe.

Maka dengan sisa pasukannya berangkatlah Raden Wijaya dengan rombongan ke Madura untuk meminta perlindungan kepada Arya wirajaya ( Adipati Madura ). Raden wijaya memperistri ke empat Putri Kertanegara merupakan adik ipar dari Ki Ageng Cengkrong Bang. Maka dengan bantuan tipu muslihat dari Arya Wiraraja pada tahun 1293 M Raja Jayakatwang ( Kediri ) dapat di taklukkan oleh pasukan Majapahit ( Raden Wijaya ) bersama pasukan Tartar dari daerah Cina.

 

  Runtuhnya kekuasaan Jayakatwang dan Lahirnya kekuasaan Majapahit

Setelah Singosari ditundukan oleh Kediri ( Jayakatwang ) 1292M. lalu menantu Kartanegara bersama pengikutnya mengungsi ke Desa Kudadu yang terletak di daerah wilayah Kerajaan Terunggana minta perlindungan kepada Adipati Madura. Dengan bantuan Adipati Sumenep, kemudian Raden Wijaya menyusun rencana pembalasan. Raden wijaya berjanji apabila kelak dapat memenangkan peperangan, maka kerajaan akan di bagi 2 (dua) antara Raden Wijaya dengan Wiraraja. Kemudian diaturlah strategi, dimana Raden Wijaya berpura-pura menyerah dan tunduk kepada Jayakatwang. Selanjutnya secara diam-diam Raden Wijaya melakukan persiapan seperlunya. Sementara itu harus bisa mendapatkan hutan tarik guna di buka atau dijadikan daerah pertanian dan perkebunan. Wirajaya menjanjikan akan memberikan bantuan tenaga kerja. Untuk melaksanakan strateginya itu Wiraraja membuat surat kepada Raja Jayakatwang, agar dapat menyerahkan diri Raden Wijaya bersama pengikutnya. Demikianlah akhirnya Raden wijaya diterima oleh Jayakatwang. Selanjutnya Raden Wijaya mengajukan permohonan untuk membuka hutan tarik. Permohonannya langsung diterima oleh Jayakatwang.

Dengan bantuan orang-orang Madura hutan tarik dapat di buka dengan lancer. Setelah hutan di buka orang-orang Madura satu persatu datang dan menetap disana.  Diceritakan pula bahwa ketika dilakukan pembukaan hutan ternyata ada anggota masyarakat pembuka hutan kekurangan bekan dan karena itu terpaksa memakan buah maja yang ditemukannya. Ternyata buah maja itu rasanya pahit. Karena itu daerah ini kemudian diberinama Majapahit. Raden Wijaya lalu melanjutkan rencananya menghimpun orng-orang yang berada dan tinggal di hutan tarik sebagai tentara untuk persiapan menyerang balik raja Jayakatwang. Sementara itu di Madura Arya Wiraraja pun mempersiapkan pasukannya untuk membantu Raden Wijaya.

Kebetulan pada waktu itu tentara Tartar datang yang dikirim oleh Kubilai Khan untuk menghukum Raja Kertanegara dari Singosari di bawah pimpinan Shik Pie, Kua Hsing, dan Ike Mishe telah tiba di jawa. Kertanegara hendak diserang, karena telah menghina kaesar Cina, berhubung utusan Cina yang bernama Meng Chi yang hendak menyampaikan pesan agar Raja Singasari tunduk kepada Cina, disuruh kembali dan bahkan dilukai wajahnya oleh Kertanegara. Kedatangan mereka merupakan kesempatan baik bagi Raden Wijaya. Apalagi karena tentara Tartar belum mengetahui adanya perubahan politik di Jawa Dwipa. Belakangan mereka baru tahu Kertanegara sudah tiada dan dibunuh oleh Jayakatwang serta Singasari sudah dikuasai. Namun tentara Cina tetap ingin menghukum singasari meski sudah dikuasai Jayakatwang.

Akhirnya pasukan Majapahit, Madura dan Tartar bersama-sama menggempur Jayakatwang serta pasukan Kediri. Akhirnya pasukan Kediri dapat dihancurkan dan Jayakatwang terbunuh, maka berakhirlah kekuasaan Kediri.

Setelah itu pasukan Raden Wijaya menggempur pasukan Tartar, yang mengakibatkan banyak tentara cina yang tewas dan sisanya melarikan diri ke kapal terus kembali ke cina.

Demikianlah kerajaan Kediri jatuh ke tangan pasukan Majapahit. Sejak itu keturunan Sri Jayakatwang dan orang-orang Kediri tidak lagi memperoleh kepercayaan. Semua pejabat yang semula dipegang oleh orang-orang Kediri diganti oleh orang Majapahit dan Madura. Sri Sastrajaya yang digantikan oleh Jayakatwang turut menerima kekalahan dan mendapat julukan baru sebagai Kesatriyeng Kediri atau Aryeng Kediri. Semua keturunan dan sanak sudaranya juga memperoleh julukan yang sama sebagai Ksatriyang Kediri . sebagai Ksatriyang Kediri di depan nama di beri gelar Arya atau Nararya.

Demikianlah menjadi jelas bahwa kata Arya atau Nararya artinya menunjukan bahwa orang tersebut adalah keturunan Raja/Ningrat, dan tempatnya sebagai orang kedua dari pengikut dan penguasa Majapahit. Gelar Nararya juga diberikan kepada keturunan Raja Jenggala ( Koripan ). Kesatriyang Koripan ( Arya Koripan ) menurunkan 6 (enam) Arya Bersaudara ( Sad Aya) :

  1. Raden Cakradara menikah dengan Tri Bhuana Tunggadewi Raja Majapahit III
  2. Arya Damar sebagai  Adipati di Palembang
  3. Arya Kenceng
  4. Arya Kutawaringin
  5. Arya Sentong
  6. Arya Pudak/Belog.

Pemberian Kedudukan oleh Raden Wijaya

Pengikut Raden Wijaya ( Kertarajasa ) yang setia dan berjasa dalam perjuangan diberikan kedudukan dan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Saudara ipar kertarajasa yaitu Ki Ageng Cengkrong Bang yang sering disebut dengan nama Raden Nambi diangkat sebagai mahapatih bergelar Rekyan Nambi. Pu Sora sebagai Patih, Wiraraja sebagai Mantri Mahawiradikara, Wenang atau Ranggalawe sebagai Amanca Negara, Kebo Anabrang sebagai Panglima Perang, dan masih banyak lagi.

Tetapi dalam perjalanan roda pemerintahan di Majapahit terjadi banyak pemberontakan dari pengikut setianya karena adanya salah satu pembesar yang tidak puas dengan kedudukannya yang telah diberikan oleh Raden Wijaya yaitu Ramapati atau Mahapati. Mahapati berhasil mengadu domba semua pembesar istana dan akhirnya terjadi pemberontakan seperti Ranggalawe, Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru, dan Kuti. Sepeninggal Kertarajasa digantikan oleh putranya Jayanegara. Patih Nambi mengundurkan diri dari jabatan karena usiannya sudah tua. Dan oleh Jayanegara diberikanlah kedudukan di Pejarakan bersama anaknya yaitu Ki Ageng Malel Cengkrong sebagai Kepala Pasukan Berkuda, benteng Majapahit sebelah timur bergelar Ki Ageng Mekel Cengkrong. Karena atas tipu daya mahapati maka dilaporkan kepada Raja bahwa Pejarakan akan berontak dan mempersiapkan pasukan perangnya. Maka terhasutlah hati Jayanegara ( Kalagemet ) dan mengepung Pejarakan dari segala penjuru. Pada waktu itu Ki Ageng Melel Cengkrong berada di Madura. Pasukan Majapahit yang berlipat ganda mengepung Pajarakan akhirnya Pejarakan dapat dikalahkan. Karena usianya sudah lanjut akhirnya Ki Ageng Mekel Cengkrong terbunuh dalam pertempuran.

Dengan tidak tersisa pembesar Majapahit, maka dengan mudah Ramapati menjadi Patih dan mengatur semua pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Sepeninggalan Jayanegara yang dibunuh oleh salah satu bala butra yaitu Tabib Panca maka pemerintahan dilanjutkan dan dipegang oleh Tri Buana Tunggadewi, karena diketahui saudara sepupunya tidak bersalah, ini karena patih Ramapati, maka Ki Ageng Melel Cengkrong diangkat menjadi Tlik Sandi dari Kerajaan Majapahit untuk memata-matai Kerajaan Bedahulu. Kerajaan ini bertempat di Bali Barat.

 

Kekuasaan Bali Barat

Pada masa Singosari ( Kertanegara ) yang diangkat di Bali sebagai Raja :

  1. Rakyan Demung Sasabungalan ( 1286 M )
  2. Diganti oleh anaknya : Kebo Parud ( 1300 sd 1324 M )

⋆ Pada Masa Pemerintahan Majapahit Jayanegara ( Kalagemet ) yang di angkat di Bali :

  1. Sri Paduka Maharaja Batara Guru ( 1324 sd 1328 M )
  2. Taruna Jaya ( anaknya ) bergelar Sri Walajaya Kertaninggrat ( 1328 sd 1337 M )
  3. Diganti oleh adiknya : Sri Astasura Ratna Bhumi Banten ( 1337 sd 1343 M )/ Gajah waktra/ Gajah Wahana

Raja ini lebih dikenal dengan nama Bedahulu karena beda pandangan dengan Majapahit. Semua gerak-gerik Raja Bali tercium sampai ke Majapahit yang pada waktu itu bertahta Tri Buana Tunggadewi dengan Patihnya Gajah Mada. Atas prakarsa dan gagasan dari Patih Gajah Madam maka anak dari Ki Ageng Mekel Cengkrong yaitu Ki Ageng Melel Cengkrong diangkat sebagai Tlik Sandi Kerajaan Majapahit.

Berangkatlah rombongan dari daerah Pejarakan dan Bakungan untuk membangun sebuah Puri di daerah pulau ayam ( Gilimanuk ) yaitu cekik. Kerajaan ini diberi nama Bakungan karena di bangun oleh orang Bakungan.

 

Kisah Berdirinya Kerajaan Bakungan

Pada waktu pendirian Kerajaan Bakungan rombongan dari Ki Ageng Melel Cengkrong, mencari tempat yang dianggap suci. Melalui cerita bahwa perjalanan Leluhur yaitu Bhagawan Sidimantra / Empu Bakung yang pernah beryoga di daerah Bali Barat. Hal mana dengan Yoga nya untuk mengetahui keberadaan dari anaknya Ida Bang Manik Angkeran. Maka dtemukanlah pohon dap-dap sebagai sarana peyoga Ida Bhagawan Sidhimantra.

Maka di bangunlah disini sebuah Puri yang di beri nama Kerajaan Bakungan. Orang-orang Bakungan sebagai tulang punggung kerajaan, sedangkan orang-orang pejarakan dipercayakan dan ditempatkan si sebelah timur sebagai penjaga perbatasan negeri Bakungan dengan penguasa Bedahulu yang ada di sana.

Kerajaan ini di bawah pemerintahan Ki Ageng Melel Cengkrong yang bergelar “ Sri Ageng Melele Cengkrong “ ( 1337 sd 1401 M ). Dalam menjalankan pemerintahan beliau di bantu oleh tiga orang putranya yang diajak dari Pejarakan yang bernama :

  1. Ki Ageng Mekel Bang
  2. Ki Ageng Cengkrong
  3. Ki Ageng Malele Bang

Maka perjalanan ini lebih dikenal dengan nama Expedisi Gajah Mada I. dengan kelihaian dari kelihaian dari Kerajaan Bakungan diketahuilah bahwa kekuatan Bedahulu yang pertama terletak pada patihnya Ki Kebo Iwo, bersama ini maka dilaporkanlah ke Majapahit oleh Raja Bakungan.

Penyerangan Bali

Pada tahun 1342 M berangkatlah rombongan Gajah Mada ke Bali Melintasi pantai Pejarakan, Bakungan dan disambut oleh Raja Bakungan. Terus melanjutkan perjalanan ke Jingrana ( daerah yehembang ) uma bangkah, keduajan, kalakan, tukan terus ke gumicik. Kedatangan rombongan ini disambung oleh Perdana Mentri Pasung Grigis dan Raja Bedahulu. Dengan tipu muslihat Gajah Mada, Ki Kebo Iwo berhasil di ajak ke Majapahit dan dijanjikan diberikan seorang istri akhirnya Ki Kebo Iwo Gugur di Telaga Rong. ( baca babad Kebo Iwo dan expedisi Gajah Mada II )

Pada tahun 1342 M ( expedisi Gajah Mada III ) Ki Gajah Mada menyerang Bedahulu, dalam penyerangan ini pasukan di bagi beberapa kelompok :

  1. Arya Pemacekan, Ki Arya Gajah Para, Arya Kutawaringin menyerang dari Timur
  2. Kyai Tumenggung, Arya Petandakan, Arya Kanuruhan, dari Desa Rajatama
  3. Arya Sentong, Arya Wang Bang, Arya Belog, menyerang dari Seseh
  4. Adityawarman dari Barat desa Gangga
  5. Kyai Dalancang, Arya Kenceng, dari desa Kertalanggu
  6. Si Tan Kober, Sitan Mundur, Sitan Kawur, dan Arya Ngaik menyerang dari Barat.
  7. Pasukan Ki Gajah Mada dan Arya Pengalasan turun dari Bakungan sebagai pemburu melintasi : Pegametan, Pulaki, Wangaya, Gunung Watukaru, Penebel, Soka, Yeh Song, Gesing, Munduk, Gobleg dan sampai di Desa Tamblingan.

Dengan serangan yang mendadak takluklah Bedahulu.

Pada masa pemerintahan Bedahulu menempatkan beberapa penguasa yang dikenal dengan nama Wadua Haji ( Raja Bawahan ).

A 1 :          – Ki Sangkarising dan Ranggawalek di Panji Singaraja

-Ki Kidang Semu di Jingrana ( jembrana ) kekuasaan ini terjadi turun temurun semenjak pemerintahan Kebo Parud sampai pemerintahan Gajah Waktra, karena mengingat Jembrana jauh berada di sebelah Barat. Pusat pemerintahan terletak di sekitar Rambut Siwi Yehembang. Setelah penyerangan Gajah Mada ke Bali, khusus di Jembrana di percayakan kepada Raja Bakungan ( Ki Ageng Malele Cengkrong).

Setelah runtuhnya Bedahulu oleh Patih Gajah Mada, di tunjuklah beberapa tempat di Bali antara lain :

  1. Arya Kutawaringin di Klungkung
  2. Arya Kenceng di Tabanan
  3. Arya Belog di Kaba-kaba
  4. Arya Dalancang di Kapal
  5. Arya Belentang di Pacung
  6. Arya Sentong di Carangsari
  7. Arya Kanuruhan di Tangkas
  8. Kryan Putan di Mambal
  9. Arya Jerodeh di Tamukti
  10. Kryan Tumenggung di Patemon
  11. Arya Demung Wang Bang di Kertalanggu
  12. Arya Sura Wang Bang di Suhaket
  13. Arya Wang Bang tiada tetap
  14. Si Tan Kawur, Sitan Mundur, Sitan KOber, masing-masing di Abian Semal. Dicacaha, di Pacung
  15. Arya Pemacekan di Bondalan
  16. Para Mahapati turunan Brahmana di Lombok
  17. Ki Ageng Malele Cengkrong di Jembrana
  18. Arya Gajah Para di Gianyar

Karena lama daerah taklukan Majapahit tidak ada yang memerintah maka diangkatlah putra-putri dari Empu Kepakisan sebagai Adipati ( 1352 M)

  1. Sri Juru di Blambangan
  2. Sri Bimo Cili di Pasuruan
  3. DK Swania ( istri ) di Sumbawa
  4. Sri Kresna Kepakisan di Bali dan dibantu oleh 3orang Arya :
    1. Arya Kepakisan ( Arya Petandakan )
    2. Arya Demung
    3. Arya Kutawaringin

Kerajaan Bakungan dan Kerajaan Pecangakan

Pada tahun 1400 M kekuasaan atas daerah jembrana dilanjutkan oleh keturunan dari Raja Bakungan ( Sri Ageng Malele Cengkrong ) yaitu :

  1. Ki Ageng Mekel Bang
  2. Ki Ageng Cengkrong
  3. Ki Ageng Malele Bang
  1. Ki Ageng Mekel Bang mendirikan Puri Jauh di Sebelah Timur Kerajaan Bakungan yang di beri nama Kerajaan Pecangakan. Karena di daerah ini masih merupakan dataran rendah yang banyak ada burung cangak ( bangau ). Maka beliau oleh penguasa yang berpusat di Samprangan ( Sri Kresna Kepakisan ) di beri gelar : I Gusti Ngurah Gde Pecangakan. Beliau memerintah bersama adiknya yang pada waktu itu sebagai Manca Agung ( sebagai wakil raja ). Yang bernama: Ki Ageng Malele Bang. Sebagai patih diangkatlah : Ki Tegal Badeng yang masih merupakan turunan Bali Age.  Bliau dianugrahi seekor Kuda Putih oleh Dalem Pasuruan ( Sri Bimo Cili ) yang masih merupakan kerabatnya. Mengingat Kerajaan Pecangakan jauh terletak di sebelah timur dari Kerajaan Bakungan. Kuda ini diberi nama Jaran Bana Rana. Berkat kerja keras dari Kerajaan Pecangakan negeri menjadi makmur, aman dan sentosa.
  2. Ki Ageng Cengkrong melanjutkan Pemerintahan ayahandanya di Kerajaan Bakungan dan beliau oleh Dalem Kresna Kepakisan di beri gelar : I Gusti Ngurah Bakungan. Beliau mengangkat patih yang bernama : Ki Jaya Kusuma. Yang merupakan kerabatnya di Pejarakan.

⋆⋆⋆ Pada tahun 1352 M kekuasaan atas Pulau Bali di perintah pleh keturunan Empu Kepakisan putra ke 4 (empat) nya yaitu : Sri Kresna Kepakisan. Maka pada tahun 1400M di panggilah putra-putra dari Ki Ageng Malele Cengkrong untuk menghadap Dalem di Samprangan maka disanalah ke 3 (tiga) putra beliau di beri gelar, kedudukan dan tugas masing-masing.

Tersebutlah ke dua Negeri ini ( Pecangakan dan Bakungan ) aman sentosa dan makmur. Rakyat bertambah yang datangnya dari berbagai tempat. Kemajuan pemerintahan kakak beradik ini lama-lama menjadi persaingan diantara mereka.

Konon kabarnya I Gusti Ngurah Bakungan ingin memiliki Kuda Putih dari Kakaknya I Gusti Ngurah Gde Pecangakan. Kecurigaan ini timbul dihati kakaknya.

Beberapa tahun kemudian pada akhir bulan yang baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya, I Gusti Ngurah Bakungan mengundang kakaknya I Gusti Ngurah Gde Pecangakan akan hal karya tersebut. Akan tetapi di dalam hati I Gusti Ngurah Gde Pecangakan mempunyai prasangka yang buruk terhadap undangan adiknya. Padahal negeri Bakungan merupakan Pusat Leluhurnya. Ditambah pula setelah mimpi buruk yang di alami istri beliau. Tapi mengingat Darma sebagai Kakak dan Sebagai keturunan Bakungan, maka dengan penuh prasangka bliau memutuskan untuk menghadiri undangan suci tersebut.

Lain halnya dengan I Gusti Ngurah Bakungan yang sudah sadar akan kekeliruannya terhadap apa yang di inginkannya. Dengan hati yang suci beliau mengundang akan ikut dan melaksanakan yadnya sebagai keturunan dari Ki Ageng Malele Cengkrong.

Pada  sebuah pertemuan di Puri Pecangakan berpesanlah I Gusti Ngurah Gde Pecangakan kepada adiknya Ki Ageng Malele Bang beserta segenap keluarga Puri dan Penggede istana.

Pesan beliau sebagai berikut :

“ apabila kudaku kembali ke Puri berlumuran darah berarti aku telah tertipu dan terbunuh oleh adikku Bakungan. Para istri supaya melakukan Darma Satya ( Bunuh diri ) segenap harta berana supaya di sembunyikan dalam tanah dan Adi Malele Bang harus menuntut balas dan menghancurkan habis Puri beserta isi Bakungan “.

Setelah itu maka berangkatlah iring-iringan Pecangakan menuju Bakungan. Sehari perjalanan sampailah iring-iringan tersebut di negeri Bakungan di sambut dengan meriah dan dengan segala kebesaran mengingat ke dua saudara ini tidak pernah bertemu. Sambutan rakyat sangatlah meriah dan kakak beradik bercakap-cakap dengan gembiranya dan penuh budi luhur yang suci tanpa ada niat jahat dari I Gusti Ngurah Bakungan.

Tetapi malang tidak dapat di tolak ! ! ! ! !

Pada pagi sang fajar menyingsing, para jagal mengadakan penyemblihan binatang sapi, kerbau, babi dll untuk persediaan upacara, tetapi tanpa ada sebab sang kuda putih kesayangan Raja Pecangakan menjadi liar dan takut kalau ikut di sembelih. Kuda ini menjadi binal dan lepas dari kandang, melompat dan mengguling-gulingkan badannya di darah panas binatang yang baru di sembelih. Lalu ia lari menghilang ke arah pecangakan, tiada seorangpun yang dapat menghalanginya. Kejadian lepas sang kuda dilaporkan kepada I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan. Alangkah terkejutnya Raja Pecangakan, lalu beliau menguraikan tentang pesannya di Puri Pecangakan. Beliau menyadari akan bahaya yang akan di dapatkan setelah sang kudanya sampai di Puri Pecangakan. Maka di perintahkanlah beberapa pasukan Bakungan untuk mengejar sang Kuda. Sang Kuda melintasi Kelatakan, Melaya, Pegubugan menuju ke timur, terus ke selatan menuju Kerajaan Pecangakan. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan beserta pasukan tidak dapat menyusulnya.

Hal kisah tibalah sang kuda di Kerajaan Pecangakan dengan berlumuran darah menjadi terkejutlah rakyat beserta seisi Puri. Dengan penuh dukacita, mengingat kepada pesan, maka pesan itu dilaksanakan tanpa pikir lebih jauh. Para istri, putra-putri telah melaksanakan satya, berikut harta benda di pendam di sumur, sesuai pesan I Gusti Ngurah Gde Pecangakan.

Kemudian Ki Ageng Malele Bang ( I Gusti Ageng Malele Bang )bersama patih Ki Tegal Badeng mengerahkan seluruh pasukan perangnya untuk menyerbu Puri Bakungan. Pasukannya dikumpulkan di daerah Cupel. Setibanya di kerajaan Bakungan I Gusti Ageng Malele Bang dan Ki Patih Tegal Badeng menghancurkan negeri Bakungan beserta isinya. Dengan gigih Puri Bakungan mempertahankan negerinya, walaupun akhirnya Ki Jaya Kusuma tewas dalam pertempuran itu. Akhirnya negeri Bakungan hancur. Setelah semuanya selesai dan kalapnya reda beliau berpikir mengapa mayat Rakanda I Gusti Ngurah Gde Pecangakan beserta Rakanda I Gusti Ngurah Bakungan tidak ada?? Beliau mengambil keputusan untuk kembali ke Pecangakan karena tugasnya sudah selesai. Anak dari I Gusti Ngurah Bakungan meninggalkan Puri lari ke Pasuruan ( Pangeran Suropati ) dan di Jawa di kenal dengan nama Untung Suropati. Arkian tibalah I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan di Negeri Pecangakan, disambut dengan isak tangis oleh rakyat menguraikan tragedi yang terjadi terhadap keluarga beliau. Sangat besar penyesalan beliau. Beliau ini menyesalkan kekeliruannya yang di akibatkan oleh sang kuda. Belum selesai mereka bersembahyang terhadap mereka yang meninggal terdengarlah sorak-sorai dari pasukan Pecangakan yang datang dari Bakungan. Sangatlah terkejut I Gusti Ageng Malele Bang melihat I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan bersama dalam keadaan berduka, maka diceritakannlah segala yang dilakukan di negeri Bakungan. Tiba-tiba Raja Bakungan menjadi marah dengan kehancuran negeri beserta isinya. Maka beliau menantang perang layaknya Darma Kesatria. Maka di panggilah adiknya I Gusti Ageng Malele Bang untuk menyatukan dan membangun negeri baru di wilayah Pecangakan. I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan, beliau sepakat untuk mengadakan perang tanding sampai titik darah pengabisan. Di dekat sebuah muara sungai beliau bertanding mati-matian tiada yang bisa tewas. Lama-lama mereka payah berkelahi kemudian memutuskan untuk menceburkan diri ke air dengan badan terikat. Setelah menceburkan diri ke air datanglah seekor ikan besar yang menyambar lidah dan puser beliau berdua, dan akhirnya beliau tewas.

Pada suatu hari mayat beliau berdua ditemukan oleh seorang menega ( pencari ikan ) yang masih memakai pakaian seorang raja, karena merasa takut maka mayat beliau di kubur dan di jadikan satu. Maka sampai sekarang orang-orang menyebut  tempat penguburannya sebagai Pura Kembar. Keluarga yang menemukan mayat beliau sampai sekarang sebagai penyiwi bakti Pura Kembar tersabut. Dan sekarang keluarga tersebut tinggal di Perancak, pindah pada masa banjir bandang yang menghancurkan negeri Brangbang. Keluarga ini adalah keluarga Pasek Gaduh.

Demikian kiranya kehendak Hyang Dewata Agung, Segala sesuatu yang suci dan mulia pada asas dan tujuannya, jikalau diikuti dengan sakwasangka dan kesalahpahaman, maka pada akhirnya berbuah hasil keburukan. Setelah linanya negeri Pecangakan dan Bakungan ± 1450 M, maka para Arya dan Rakyat menamakan daerahnya Jembrana yang berasal dari kata Jaran Rana.

Bersatunya Negeri Jembrana dibawah Pemerintahan I Gusti Ngurah Pancoran  

Setelah linanya negeri Pecangakan dan Bakungan, I Gusti Ageng Malele Bang menghadap Dalem di Gelgel yang waktu itu di perintah oleh Sri Dalem Ketut Ngelusir, maka di ceritakanlah segalanya yang terjadi di Negeri Pecangakan dan Bakungan. Atas restu beliau diangkatlah I Gusti Ageng Malele Bang dengan Gelar : I Gusti Ngurah Pancoran. Di beri gelar ini oleh Dalem, mengingat satu-satunya pewaris / keturunan Raja Singasari ( Kertanegara ) yaitu Pangeran ke Lima yang memegang jabatan di Jembrana yang masih ada setelah :

  1. Ki Ageng Cengkrong Bang bergelar Ki Ageng Mekel Cengkrong
  2. Ki Ageng malel Cengkrong bergelar Sri Ageng Malele Cengkrong
  3. Ki Ageng Mekel Bang bergelar I Gusti Ngurah Gde Pecangakan
  4. Ki Ageng Cengkrong bergelar I Gusti Ngurah Bakungan
  5. Ki Ageng Malele Bang bergelar I Gusti Ngurah Pancoran

Upacara pengangkatan beliau dilakukan di Pura Dasar Buana yang terletak di daerah Gelgel ( Klungkung ). Maka kembalilah I Gusti Ngurah Pancoran ke Jembrana dan mempersatukan kembali rakyat Jembrana dalam satu Kerajaan Baru yang di beri nama negeri Jembrana, asal mula dari Jaran Rana. Karena merupakan satu rumpun atau kerabat dari Dinasti Rajasa maka pemerintahan yang di pegang oleh I Gusti Ngurah Pancoran bersifat otonomi yang mengelola daerahnya sendiri tanpa campur tangan Kerajaan Klungkung.

Catatan :

–          Konon tempat linanya I Gusti Ngurah Gde Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan di Pura Kembar di Jaga seekor buaya Kuning Gading ( lambang kekuatan jembrana bidang olahraga).

 

Pemerintahan I Gusti Ngurah Pancoran ( 1450 – 1470 M )  

Di bawah pemerintahan I Gusti Ngurah Pancoran rakyat kembali membangun negerinya yang berjumlah ± 2.000orang . Dengan kerja keras rakyat beserta pembesar Kerajaan, negeri ini menjadi maju dan makmur. I Gusti Ngurah Pancoran mempunyai 5 (lima) putra di beri nama Panca pangeran yaitu :

  1. Pangeran Malele
  2. Pangeran Raksa
  3. Pangeran Pendem
  4. Pangeran Sawe
  5. Pangeran Dewasana

Karena usianya sudah lanjut I Gusti Ngurah Pancoran ingin membagi kerajaanya menjadi 5 (lima) kerajaan sesuai dengan namanya Pancoran yaitu Panca Pangeran. Maka  pada ±  1470 M pembagian kerajaan ini dilakukan dan ke 5 putra beliau masing-masing diberikan wilayah yang telah ditetapkan dan diberikan gelar masing-masing. Wialayah kerajaan itu antara lain:

  1. Di utara                   : I Gusti Ngurah Dewasana
  2. Di timur                   : I Gusti Ngurah Sawe
  3. Di selatan               : I Gusti Ngurah Raksa
  4. Di barat                   : I Gusti Ngurah Pendem
  5. Di tengah                : I Gusti Ngurah Pancoran ( Pangeran Malele )

Penempatan kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Limo Pancer Jagat. Pada akhirnya abad XIV ( 1480M ) ke empat kerajaan yang berada di luar kerajaan induk mulai mengalami kemunduran karena beliau kurang begitu cakap di dalam menjalankan roda pemerintahan.

  1. Pemerintahan Pengeran Malele ( 1470 – 1550 M ) bergelar : I Gusti Ngurah Pancoran II beliau melanjutkan pemerintahan Ayahandanya di Negeri Jembrana yang lasim bernama Puri Pecangakan
  2. Pemerintahan Pangeran Raksa ( 1470 – 1489 M ) bergelar : I Gusti Ngurah Raksa kembali ke jaman Dalem Waturenggong ( 1460 – 1550 M ) pada ± 1470 M diangkatlah beberapa pembantu raja antara lain :
    1. Pandita Kerajaan Sebanyak 8 orang
    2. Rakyan Patih / Catur Tanda Mantri
    3. Para Mantri sebanyak 16 orang

Itulah bagian pandita kerajaan, rakyan patih, catur tanda mantra dan para mantra kerajaan yang menggambarkan dukungan yang luas dari kekuatan yang mencerminkan suatu pemerintahan yang kompak. Untuk daerah jembrana diangkatlah keturunan Ki Mekel Cengkrong anaknya I Gusti Ngurah Pancoran yaitu I Gusti Ngurah Raksa bergelar Kryan Lurah Raksa ditempatkan di daerah awen.

Karena pemerintahannya sangat terkenal maka diutuslah beliau ke Gelgel oleh saudara-saudaranya dan beliau akhirnya diberi gelar : Kryan Lurah Raksa. Tapi di Jembrana lebih di kenal dengan nama I Gusti Ngurah Raksa. Beliau mendirikan Puri di daerah awen sekarang, di sebelah selatan wilayah jembrana (pecangakan) yang mana penduduk dari kerajaan kecil ini bersifat urag pati. I Gusti Ngurah Raksa menganut aliran Siwa Baerawa yaitu aliran baerawa pada jaman penguasa Bedahulu yaitu Ki Kidang Semu. Beliau mempunyai patih bernama Ki Kayu Selem, karena aliran yang dianut maka beliau lebih dikenal dengan nama I Gusti Ngurah Rangsasa. Pada tahun ± 1498 M , datanglah ke Jembrana penghulu agama Siwa  yaitu Dang Hyang Nirartha ( Pedanda Sakti Wawu Rauh).  I Gusti Ngurah Raksa memuja patung srada yaitu manifestasi Bhatari Siwa Durga. Patung Srada ini ditempatkan di sebuah candi usang, yang tidak jauh letaknya dari Pelinggih Pura Kembar. Dalam pemerintahannya beliau menjalankan aji wegig, pengiwa yang berasal dari Empu Bahula (Kerajaan Daha) yang telah dianut oleh suku Bali Age Jaman Bedahulu.

Kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Jembrana di dengar oleh penguasa I Gusti Ngurah Raksa, suatu hari I Gusti Ngurah Raksa dengan menunggang kuda bersama pengawalnya menghadang Dang Hyang Nirartha. Kedatangan I Gusti Ngurah Raksa disambut ramah oleh Dang Hyang Nirartha. Pada pertemuan itu terjadi adu pendapat dan diskusi tentang ajaran agama serta mengadu ilmu-ilmu gaib tingkat tinggi. Akhirnya I Gusti Ngurah Raksa mengakui kehebatan dari Dang Hyang Nirartha, maka beliau pergi ke sebuah goa di dekat sebuah bukit untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi. Beliau dijaga oleh patihnya Ki Kayu Selem. Lama beliau bertapa dan akhirnya meninggal disana. Tempat meninggalnya di bangun Pura dan di sungsung oleh keluarga Ki Kayu Selem. Tentang hubungannya dengan Ki Kayu selem kami akan uraikan di belakang.

  1. Pemerintahan Pangeran Pendem ( 1470 – 1478 M ) bergelar : I Gusti Ngurah Pendem. Pemerintahan I Gusti Ngurah Pendem hanya berkisar 3 tahun. Beliau tidak meninggalkan keturunan. Beliau memerintah di daerah pendem sekarang. Dan pusat pemerintahan di sekitar Pura Puseh Pendem. Beliau menganut aliran Wisnu Murti.
  2. Pemerintahan Pangeran Sawe ( 1470 – 1474 M ) bergelar : I Gusti Ngurah Sawe. Memerintah disekitar sungai Tukadaya di sebelah timur negeri jembrana. Beliau suka berjudi, harta bendanya habis untuk berjudi dan akhirnya kerajaannya pun sirna. Beliau tidak mempunyai keturunan. Tentang berita dari kerajaan sawe tidak begitu kami kenal, karena kerejaan ini tidak berkembang dan tidak meninggalkan bukti yang akurat yang ada hanya cerita lisan itupun hanya sebagian kecil saja. Penyelidikan tentang kerejaan-kerejaan kecil di wilayah jembrana masih kami selidiki secara lisan maupun non lisan dan akan kami uraikan di belakang.
  3. Pemerintah Pangeran Dewasana ( 1470 – 1497 M ) bergelar : I Gusti Ngurah Dewasana. Pemerintahannya berada di utara wilayah pusat dari kerajaan induknya. Beliau memerintah dengan arip dan bijaksana. Terbukti sekarang bekas pusat pemerintahan di Siwi oleh masyarakat  dewasana. Maka sampai tempat mereka berkuasa di beri nama Dewasana. Bukti-bukti sejarah berada di sekitar Pura Dewasana.

Kembali kepada I Gusti Ngurah Pancoran II memerintah sekitar 1470 – 1550 M. punya putra bernama I Gusti Ngurah Malele Rengkong, yang melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Puri Pecangakan yang bergelar I Gusti Ngurah Pancoran III.

Pada jaman I Gusti Ngurah Pancoran III di Jembrana, sebuah peristiwa dimana Dalem Waturenggong di Gelgel menyerang Kerajaan Blambangan di bawah pemerintahan Dalem Juru Natha yang masih merupakan kerabatnya.

 

Kerajaan Brangbang ( ± 1550 – 1960 M )

Pada tahun 1550 M Dalem Waturenggong menyerang Kerajaan Blambangan di bawah kekuasaan Dalem Juru Natha. Dalam pertempuran itu Blambangan kalah, pasukan Dalem Waturenggong dipimpin oleh Ki Agung Widya dan dibantu oleh pasukan Jembrana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Pancoran III. Maka untuk mengawasi daerah taklukannya Dalem Gelgel memerintahkan untuk membangun Puri baru di sebelah barat laut dari kekuasaan I Gusti Ngurah Pancoran III yang bernama Brangbang asal dari rakyat Blambangan.

Untuk menghormati jasa dari Patih Ki Agung Widya, maka diangkatlah putranya yaitu Ki BasangTamyang bergelar : I Gusti Ngurah Brangbang Murti. I Gusti Ngurah Brangbang Murti mengambil istri dari Den Bukit. Semangkatnya meninggalkan seorang putra bernama I Gusti Ngurah Putu Giri, berputra 2 orang :

  1. I Gusti Ngurah Putu Tapa ( Raja )
  2. I Gusti Ngurah Made Yasa ( Wakil )

Pemerintahan I Gusti Ngurah Pancoran IV ( 1620 – 1697 M ) 

I Gusti Ngurah Malele Cengkrong ( Pancoran III ) mempunyai putra bernama : I Gusti Ngurah Cengkrong Bang. Beliau menggantikan Ayahandanya bergelar : I Gusti Ngurah Pancoran IV. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau di bantu oleh 3 orang pembantu utama :

  1. Ki Penyarikan                                : Juru Tulis
  2. Ki Pande Tonyo                            : Pembuat Senjata
  3. Ilannun                                            : Kepala Pasukan Meriam Bugis

Tentang hubungan ketigannya dengan I Gusti Ngurah Pancoran IV masih kami selidiki akan di ungkapkan di belakang !!!

 

Kedatangan Orang Islam ke Jembrana  

Pada tahun 1653 – 1655 M dan tahun 1660 – 1661 M terjadi peraqng antara Makasar dan VOC ( Kompeni ). Tahun 1666 M makasar dapat di taklukan dan di kalahkan oleh kompeni. Orang makasar banyak yang menyingkir ke Banten dan Pasuruan. Mereka di kejar-kejar oleh VOC dan Aru Palaka. Orang Bugis banyak yang meninggalkan negerinnya menjadi perampok untuk melawan Belanda. Bajak Ilanun tidak dapat ditangkap, mereka bersembunyi di Teluk Pangpang Blambangan dan tertarik hatinya ke Bali ± tahun 1669 M ke pertama mereka mendarat di Air Kuning, kemudian mencoba memasuki Kuala Perancak, berhasil dan menetap sementara di sebuah tempat yang bernama Kampung Bajo. Tiada lama setelah di selidiki, mereka mengetahui daerah ini bernama Jembrana. Mereka melayari sungai berbelok-belok dan mereka mengetahui yang berkuasa di daerah tersebut Dinasti Pancoran ( I Gusti Ngurah Pancoran IV / I Gusti Ngurah Cengkrong Bang ). Mereka minta ijin untuk menetap dan tinggal disini, dan di berikan untuk menetap. Maka mereka membuat pelabuhan yang di beri nama Bandar Pancoran sesuai dengan nama penguasa pada waktu itu.

Kini bekas pelabuhan lama Loloan. Kemudian sangatlah erat hubungan persahabatan orang Bugis dengan Keluarga Dinasti Pancoran. Maka menjadikuatlah pemerintahan I Gusti Ngurah Cengkrong Bang dengan bantuan Panglima Bugis dengan Penembak Meriamnya.

 

Melepaskan diri dari Kerajaan Gelgel  

Setelah Lombok dan Sumbawa dapat ditaklukkan oleh I Gusti Ngurah Karangasem, mengutus tiga punggawa keluargannya menghadap Dalem Di Made akan mempersembahkan kemenangannya itu dan memohon surat kuasa. Rupanya Dalem mendapat hasutan, karena itu setelah utusan pulang, lalu di bunuh atas perintah Dalem. Mendengar kejadian itu Patih Ki Agung Maruti sangat marah, lalu menyerahkan rakyat Karangasem dan Lombok lengkap dengan senjata menyerang Dalem. Pengawal Dalem tidak kuat bertahan karena diserang secara tiba-tiba . lalu Baginda lari dengan dua orang anaknya menyingkir sempai ke guliang di iringi oleh rakyatnya dan pengawal sebanyak 300 orang. I Gusti Agung Maruti berkuasa dan menduduki Gelgel Tahun 1651 – 1677 M.

I  Gusti Ngurah Karangasem mengangkat dirinya sebagai Raja di Lombok dengan ibukota Mataram. Oleh karena Kerajaan Gelgel itu jatuh maka Blambangan , Brangbang dan Jembrana di hasut oleh Pasuruan untuk melepaskan diri dari Kekuasaan Gelgel.

 

Runtuhnya Kekuasaan I Gusti Agung Maruti  

Sebelum Kerajaan Gelgel dapat direbut oleh Dalem Di Made di dalam suasana yang genting Baginda lalu mangkat di Guliang dengan meninggalkan 2 orang putra. Raden Pemayun dan Raden Den Cingah tetapi masih muda-muda. Punggawa dari manca daerah, lalu bermusyawarah dengan Raja Putra Kerajaan Gelgel. Lalu diputuskan seoran putra raja yang ibunya dari Badung dipindahkan ketimur di iringi oleh Para Bangsawan dan Rakyat 150 orang lalu diam di sulah di Kaki Gunung Agung di daerah Singarsa.

Setelah lama diam disana lalu I Gusti Ngurah Singarsa bersama para manca bermusyawarah dan berkirim surat ke Badung, Den Bukit, dan para manca sekalian minta bantuan akan menyerang  I Gusti Agung Maruti di Gelgel.

Sesudah semua bersatu dan bersiap akan menyerang Gelgel dengan siasat mengepung dari segala penjuru. Pada tahun 1677M berangkatlah semua angkatan perang itu. Badung menmyerang dari selatan tentara Den Bukit dari barat dan berkumpul di Panasan. Rakyat Singarsa yang dipimpin oleh Dewa Agung Jambe dari utara, sampai di klungkung di bantu oleh rakyat Sampalan, Dawan dan Kijai Paketa pengawal dari I Gusti Agung Maruti. Hal ini diketahui oleh I Gusti Agung Maruti lalu mengerahkan pasukannya menyongsong serangan Badung yang dipimpin oleh Kijai Jambe Pule. Tentara I Gusti Agung Maruti sangat kuat sehingga tentara Badung di hancurkannya. Kijai Jambe Pule gugur di Cedok Andoga sebelah timur Puri.

Serangan I Gusti Ngurah Panji Sakti di Panasan aji di songsong oleh Ki Dukut Kreta patihnya I Gusti Agung Maruti, pasukan Panji yang di kepalai oleh Ki Tamblang menyerang dengan hebat Ki Dukut Kreta perang tanding dengan I Gusti Tamblang dan akhirnya Ki Dukut Kreta tewas. Lalu kota Gelgel dikurung dari segala penjuru di serang dengan hebat, sehingga I Gusti Agung Marti tidak mampu bertahan dengan serangan lascar yang berlipat ganda. Pada tahun 1677 M. I Gusti Agung Maruti dapat di tundukan oleh Pasukan Dalem, semua pengikut I Gusti Agung Maruti diturunkan derajat keturunannya sampai menjadi ras kebanyakan ( Jaba ). I Gusti Agung Maruti dapat  meloloskan diri dari klungkung dan mengungsi sampai ke Sukawati. Demikan juga keluargannya yang memihak I Gusti Agung Maruti cerai berai mengungsi ke tempat yang jauh. I Gusti Pamade putra dari I Gusti Agung Maruti dan I Gusti Ler putra dari I Gusti Pranawa lari mengungsi sampai ke Jimbaran. Mereka pergi sejauh mungkin agar tidak diketahui oleh pasukan Dalem dan lepas dari penurunan Derajat Kasta.

 

Perang Jembrana – Buleleng I

Pada tahung 1680M I Gusti Ngurah Panji Sakti ingin memperluas daerah kerajaannya sampai ke jembrana. I Gusti Ngurah Panji Sakti mengerahkan pasukan goaknya yang terkenal kebal-kebal yang dipimpin oleh Ki Tamblang Sampun dan menyerang dari hutan gelar, penyerangan ini di hadang oleh pasukan Pancoran Wisnu Murti yang di bantu oleh pasukan Meriam Bugis.

Di sebelah barat kerajaan Brangbang juga di kepung oleh pasukan pimpinan Ki Barak Panji, pada waktu itu Raja Brangbang adalah I Gusti Ngurah Putu Tapa dan I Gusti Ngurah Made Yasa sebagai Wakil Raja. Karena tidak kuat mempertahankan diri akhirnya kerajaan takluk terhadap I Gusti Ngurah Panji Sakti.

Pertempuran di Hutan Gelar sangat serunya. Pasukan Goak Ki Tamblang Sampun tidak dapat menandingi pasukan Wisnu Murti Pancoran apalagi pasukan ini di bantu oleh pasukan Meriam Bugis yang berada di garis depan. Maka berpikirlah I Gusti Ngurah Panji Sakti terhadap ketangguhan pasukan lawan dan bagaimana caranya untuk menundukkan I Gusti Ngurah Pancoran yang masih merupakan kerabatnya dari turunan Majapahit apalagi memiliki keris turunan langsung dari Ki Ageng Cengkrong Bang, maka di aturlah tipu muslihat dengan orto kabar:

“ apabila pasukan jembrana tidak mau menyerah maka saya akan mengeluarkan keris Ki Baru Gudug pemberian Dalem Sagening, semua pasukan Jembrana akan terserang penyakit Gudug”

Maka berpikirlah I Gusti Ngurah Pancoran karena beliau tahu keris pemberian leluhurnya itu sangat ampuh walaupun dirinya tidak terkena penyakit gudug, tapi beliau sangat saying pada rakyatnya dan pasukannya. Maka dengan tanpa syarat menyerahlah pasukan Jembrana ( Wisnu Murti) pada penguasa Den Bukit. Persahabatan berjalan sampai beberapa tahun lamanya, kemudian ditunjuklah dua orang penguasa Den Bukit yaitu : I Gusti Tamblang dan I Gusti Meranggi Sakti beserta putranya I Gusti Arak Api. Lama persatuan antara Buleleng – Jembrana dengan tiada terasa, sedikit demi sedikit menjadi pengaruh kekuasaan Buleleng. I Gusti Ngurah Tamblang bersama I Gusti Arak Api menetap di timur penguasa Pancoran  ( Daerah tamblang sekarang ). Sedangkan I Gusti Meranggi Sakti berada di Kerajaan Berangbang.

 

Hancurnya Negeri Berangbang 

Pada tahun 1690M negeri berangbang hancur akibat tanah longsor dan banjir besar. Raja sedang mengadakan upacara besar (ngluer ) ngaben, yang di upacarakan adalah keluarga raja yang tewas dan pasukan yang gugur dalam perang melawan Buleleng, sedangkan I Gusti Made Yasa sedang diutus ke Mengwi untuk mengundang raja Mengwi dalam hal karya tersebut itu. Untuk keperluan upacara raja menyerahkan semua pasukan dan rakyat mencari binatang di hutan untuk di jadikan korban. Seorang buta yang bernama Ijogading ikut dalam perburuan itu menjumpai dan bertemu dengan seekor naga besar yang sedang bertapa. Dan dengan darahnya dapat menyembuhkan orang buta itu, dengan tidak sengaja melukai badan sang naga. Hal penemuan itu dilaporkan pada raja, Raja memerintahkan untuk membunuh Naga tersebut untuk dijadikan korban dan dibawa ke puri. Rupanya negeri berangbang mendapat kutukan dari Hyang Dewata Agung, Hujan lebat tidak henti-hentinya, beberapa hari kemudian banjir besar dan tanah longsor menghancurkan negeri berangbang beserta isinya, I Gusti Made Yasa sepulangnya mendapatkan negerinya hancur binasa. Beliau kembali ke Mengwi untuk melaporkan hal kejadian tersebut dan beliau kembali lagi ke  Jembrana dan tidak menetap di berangbang melainnkan di daerah Jembrana di sebelah timur, serta mendirikan wangsa baru yang di beri nama Jro Andul.

“ Catatan :

Saat inilah karena banjir besar di berangbang semua bentuk rumah di daerah Loloan berubah menjadi rumah panggung karena ikut tergenang air sungai.

Pada tahun1690M berakhirlah pemerintahan otonomi yang dipegang oleh penguasa Jembrana yaitu I Gusti Ngurah Pancoran IV. Karena kekuasaanya semakin lemah dimakan usia jaman. Maka melemahlah pemerintahan I Gusti Ngurah Cengkrong Bang apalagi beberapa pengikutnya satu demi satu telah tiada.

I Gusti Ngurah Cengkrong Bang istrinya keturunan Kryan Tumenggung. Berputra :

  1. I Gusti Ngurah Gede
  2. I Gusti Ayu Ularan
  3. I Gusti Ayu Rai
  1. I Gusti Ngurah Gede istrinya dari keturunan Meranggi Sakti. Berputra :

1.1.                  I Gusti Ngurah Putu Dorok

1.2.                I Gusti Ngurah Made Merenggi

  1. I Gusti Ayu Ularan diambil istri oleh raja jembrana I ( I Gusti Ngurah Nyoman Takmung ) berputra :

2.1      I Gusti Ngurah Lebar Ditaman

2.2    I Gusti Ngurah Lebar Kesuduk

  1. I Gusti Ayu Rai kawin dengan Ida Wayan Pande ( Leluhur Grya Gede ) di bekali sebuah keris pusaka Pancoran yang bernama : “ Keris Pengeraksa Jiwa “.

 

Perjananan Sejarah I Gusti Ngurah Gede  

–          Pada jaman pemerintahan I Gusti Ngurah Agung Jembrana I, I Gusti Ngurah Gede menjadi Kepala Pasukan Perang (± 1715 M).

–          Semasa pemerintahan Raja III ( I Gusti Agung Putu Handul ) diangkat menjadi Punggawa Gede ( Wakil Raja ).

–          Semasa pemerintahan Raja IV ( I Gusti Agung Gede Sloko ) diangkat kembali sebagai Punggawa Gede.

I Gusti Ngurah Lebar Ditaman ( Raja II ) berputra :

  • I Gusti Agung Putu Handul

Berputra : 1. I Gusti Agung Sloko

2.I Gusti Agung Medangan

I Gusti Ngurah Lebar Kesuduk berputra :

  • I Gusti Ngurah Pasatan

Berputra : I Gusti Ngurah Jampel ( Jro Rai )

⋆ Catatan :

Pada waktu perang Jembrana – Buleleng II ( 1828 M ) punggawa Gede dari Jro Pancoran ( I Gusti Ngurah Made ) diangkat kembali sebagai pimpinan pasukan yang dulunya sebagai punggawa gede pada perang Jembrana – Buleleng II beliau gugur bersama dengan I Gusti Agung Ngurah Bengkol ( Wakil Raja tahun 1828M ). Beliau berdua gugur di daerah Bajo Awen.

Maka I Gusti Nyoman Karang bertekad dan bermaksud membunuh semua keturunan Pancoran karena dianggap sebagai kekuatan yang tidak dapat di bendung baik keberaniannya maupun kesediaan mempertahannkan negerinya sejak beberapa abad di bangun oleh leluhurnya, keturunan Pancoran dianggap sebagai penghalang dalam memperluas wilayah kekuasaan walaupun itu merupakan kerabatnya dari I Gusti Ngurah Panji Sakti.

⋆ sebelum niatnya kesampaian maka dimana seluruh kerabat dari I Gusti Ngurah Gede menyembunyikan jati diri dari keluarga Pancoran.

Anak dari I Gusti Ngurah Gede :

  1.  I Gusti Ngurah Putu Dorok di sembunyikan oleh kerabatnya I Gusti Ngurah Pasatan ( Jro Rai) dan diangkat sebagai anak. Dan setelah aman kembali melanjutkan Dinasty Pancoran yang sekarang berada di daerah : Tegalasih, Taman, Batuagung, Pancaseming, dan daerah timur. Setelah ada ketrunan di Jro Pancoran beliau kembali  ke Jro Raid an menurunkan Dinasty baru yang dikenal dengan nama Jro Rai Anyar ( Jro Anyar )
  2. I Gusti Ngurah Made Merenggi yang ikut dalam pembangunan Puri Negara ( 1790 – 1800 M), Beliau lepas dari Pengawasan Raja Den Bukit karena beliau telah diangkat menjadi Pemangku/Pemuka Agama di Pura Puseh Negara ( Keluar dari dunia politik ).
  1. I Gusti Ngurah Putu Dorok mengambil istri dari daerah patemon Singaraja berputra :

1.1        I Gusti Ngurah Wayan Kikir

1.2      I Gusti Ngurah Made Gantar

1.3      I Gusti Ngurah Nyoman Genter

1.4       I Gusti Ngurah Ketut Bebeng

1.5      I Gusti Ngurah Ketut Tileng

  1. I Gusti Ngurah Made Merenggi istrinya keturunan Mas Blambangan berputra :

2.1      I Gusti Ngurah Wayan Dalang

2.2    I Gusti Ngurah Made Ukir

 

⋆⋆ Kerajaan Jembrana II 

Berdirinya Puri Gede Jembrana tahun 1715M. setelah I Gusti Ngurah Made Yasa mendirikan Jro Andul ( sisa yang tinggal dari musnahnya negeri Berangbang ± 1697M ). Beliau mempunyai seorang putra yang bernama I Gusti Andul, tetapi tidak suka pada pemerintahan negeri hanya suks bersenang-senang dan berburu. Maka I Gusti Ngurah Made Yasa memutuskan untuk ke mengwi meminta janji Raja Mengwi akan seorang Putra untuk dijadikan Raja di Jembrana. Karena pada tahun 1711M I Gusti Ngurah Panji Sakti melepaskan pengaruh kekuasaannya atas jembrana, dan diberikan Raja Mengwi I Gusti Made Agung karena merupakan ipar dari I Gusti Ngurah Panji Sakti. Disamping itu Mengwi ikut berjasa dalam penyerangan ke Blambangan. I Gusti Made Agung memutuskan anaknya yang ke 3 yaitu I Gusti Nyoman Takmung di boyong ke Jembrana. Karena beliau belum cukup umur maka di ikut sertakan ibu dan kakeknya ( mertua raja ) yaitu I Gusti Takmung. Beliau diberi 400 orang rakyat mengiringkan ke jembrana. Sesampainya din jembrana di bangun sebuah puri baru di sebelah utara Jro Andul. Setelah I Gusti Nyoman Takmung dewasa beliau di nobatkan menjadi raja dengan gelar I Gusti Agung Ngurah Jembrana, mengambil istri dari Jro Pancoran ( I Gusti Ayu Ularan ). Dan di bangunlah Puri baru di sebelah selatan Jro Andul dan setelah selesai diberi nama Puri Gede Jembrana.

Susunan Pemerintahan:

–          Kakeknya I Gusti Takmung Sebagai Patih

–          I Gusti Made Yasa karena usianya sudah tua diangkat sebagai mangku bumi

–          I Gusti Ngurah Gede dari Dinasty Pancoran diangkat sebagai kepala pasukan perang dibantu oleh Arya Bengkel yang ikut dari Mengwi.

I Gusti Agung Ngurah Jembrana berputra 2 orang :

  1. I Gusti Agung Ngurah Lebar Ditaman ( Raja II)
  2. I Gusti Agung Ngurah Lebar Kesuduk

I Gusti Agung Ngurah Jembrana II berputra :

–          I Gusti Agung Putu Handul ( Raja III ) berputra 2 orang :

  1. I Gusti Agung Seloko di Puri Gede
  2. I Gusti Agung Madangan di Puri Anom

Semasa pemerintahan I Gusti Agung Putu Handul ( Raja III) Raja Tabanan mencoba menyerang jembrana, tetapi mundur karena terkena daun lateng. Raja Badung menyerang pula dari arah pantai selatan terpaksa kembali pulang karena banyak termakan buaya.

 

Berdirinya Kota Negara ( 1790 – 1800 M )  

Ditulis oleh Panglima Bugis bahwa I Gusti Agung Sloka dan I Gusti Agung Medangan dan Raja III ( I Gusti Agung Putu Handul ) sering bertamasya ke Bandar perniagaan Bugis di Pancoran dan daerah sekitarnya. Makin ke hulu menyusuri sungai ijogading, makin indah pemandangannya, tanahnya datar dan bersih. Adapun jalan lalu lintas jalan raya Pancoran – Sibetan turun ke sungai Ijogading bersampan menuju Bandar Pancoran. Tertarik dengan rasa keindahan I Gusti Agung Sloka membangun Puri Baru di atas sebuah tanah lapang di utara Bandar Pancoran. Pembangunan Puri ini di kepalai oleh kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Made Merenggi ( dari Dinasty Pancoran ) beserta segenap rakyat dan para tukang ( para mas ) dari Blambangan ( orang blambangan banyak yang mengungsi ke Jembrana, karena daerahnya ditaklukan oleh kompeni tahun 1767 M ). Setelah selesai di bangun puri ini di beri nama Puri Agung Negara ( Naga-ra). Kemudian ditempati oleh putra sulung I Gusti Agung Sloka yaitu I Gusti Agung Putu Ngurah. Putranya yang kedua I Gusti Agung Putu Raka di puri Jembrana yang pertama sebagai raja yang kedua sebagai wakil raja.

Anaknya I Gusti Agung Medangan yaitu I Gusti Agung Made Rai menjadi kepala pasukan perang yang bertempat tinggal di Puri Anom. Sedangkan I Gusti Ngurah Made Merenggi ditugaskan sebagai pemuka adat karena beliau sangat ahli dalam pembangunan maupun spiritual dan beliau berdiam di sebelah utara Puri di beri nama Jro Dauh Pancoran. Sebagai lazimnya menurut adat istiadat dan agama atas prakarsa Jro pancoran, setelah puri di bangun di sebelah utara puri di bangunlah Pura Puseh beserta bale agung. Atas prakarsa para subak dan Jro Pancoran Dauh didirikanlah tempat pesimpangan Bhatara Dalem Bakungan untuk kesuburan dan kesejahteraan daerah.

Selanjutnya di bangun Pura Dalem di sebelah selatan Puri berseni style Blambangan di dalamnya dua patung pasir laut dari Blambangan berbentuk Buta-Buti simbolis dewa penghukum dosa manusia, patung tersebut di bawa oleh orang-orang Blambangan yang mengungsi ke bali karena di desak agama islam.

Kira-kira tahun 1781M mendaratlah di pantai air kuning skuadron kapal-kapal perairan dari Pontianak di bawah Nakhoda Syarif Abdullah Bin Maulana Alqadri karena di kejar-kejar oleh kompeni kemudian mereka memasuki kuala perancak dan tiba di Bandar Pancoran kemudian mereka di beri ijin menetap di Jembrana setelah terjadi sedikit sengketa dengan pihak Kerajaan ( hak tawan karang ). Anak buah Syarif Abdullah di Pilih sebagai pemuka agama islam dan mengadakan persahabatan dengan Puri Gede Jembrana.

Anak buahnya membangun perkampungan baru di utara Bandar Pancoran Bugis yang di beri nama Liloan ( Loloan ) yang artinya berliku-liku.

Bandar Pancoran lama-lama menjadi sepi kalah saingan dagang dengan Bandar Loloan. Panglima Bugis yaitu Daeng Marewa dan Daeng Kuda Dempet bersahabat dengan Puri Agung Negara ( I Gusti Agung Putu Ngurah ).

 

Riwayat Gurun Bengkes / Yong Tionghoa

Pemerintahan I Dewa Agung Jambe I ( 1706 – 1775 M ) dalam pemerintahan Dewa Agung Jambe II ( 1775 – 1850 M ) di Semarapura Klungkung kira-kira pada tahun 1844 M banyak perahu cina berdagang dan berlabuh di pelabuhan Gelgel. Pada suatu hari berlayarlah sebuah perahu Cina ( Hailam ) dari pelabuhan Gelgel menuju Batavia yang berisi 40orang hukuman pidana untuk dijual sebagai budak belian. Mereka itu adalah yang pernah berontak pada Dalem I Dewa Agung Jambe II, mereka diikat kaki dan tangannya, dan di beri makan tebu ratu. Sampai selat bali salah satu ikatan dari gurun bengkes lepas, satu persatu kawannya dilepaskan dan Gurun Bengkes memimpin pembrontakan dan berhasil mengalahkan orang cina dengan senjata tebu ratu. Orang-orang Cina menceburkan diri ke laut untuk menuju pesisir banyuwangi. Salah satu dari orang Cina itu terbunuh dan mayat di buang ke laut. Mereka semua tidak bisa mengemudikan perahu dan perahu itu terkatung-katung di Selat Bali. Mereka menghaturkan sesangi apabila mereka selamat sampai di pantai Bali, mereka akan meghaturkan korban “ Kebo bertanduk emas” kepada leluhur.

Perahu itu tertarik arus selat bali dan akhirnya terdampar di pantai Lemodang, Yeh Kuning. Setelah di dengar dan di periksa hal ikhwalnya Raja I Gusti Agung Putu Ngurah mengabulkan permohonannya untuk mengabdi dan kemudian mereka di bagi :

–          10 orang termasuk Gurun Bengkes mengabdi kepada Puri Agung Negara ( Raja Jembrana ).

–          10 Orang mengabdi kepada Wakil Raja di Puri Gede Jembrana.

–          10 Orang mengabdi kepada Puri Anom ( Kepala Pasukan Perang ).

–          10 Orang mengabdi kepada I Gusti Ngurah Made Merenggi ( Dinasty Pancoran).

Pada suatu hari yang baik mereka menepati janjinya menghaturkan korban “ Kebo Bertanduk Emas” kepada leluhur dan arwah Cina yang terbunuh di selat bali. Maka di bangunlah sebuah Kelenting ( Bangunan Budha ) untuk menghormati arwah Cina yang di bunuh di selat Bali. ( Kuil kecil ini terdapat di Banjar Tengah sebelah barat Pura Puseh ).

 

Perang Buleleng – Jembrana II

Pada tahun 1828 M semasa pemerintahan I Gusti Agung Gede Seloka ( Raja IV ). Raja Buleleng I Gusti Agung Gede Karang menyerang Jembrana, Raja I Gusti Agung Gede Seloka bersamaadiknya I Gusti Agung Ngurah Bengkol mengungsi ke Banyuwangi ( sekarang kampung Bali).

Sementara pemerintahan kosong I Gusti Ngurah Gede dari Dinasty Pancoran diangkat kembali sebagai Wakil Raja di Jembrana. Beberapa waktu kemudian perlawanan dilanjutkan bersama adik Raja I Gusti Agung Ngurah Bengkol yang kembali dari Banyuwangi. Perang terjadi di Desa Pengambengan, tewaslah I gusti Agung Gede Karang oleh I Gusti Agung Ngurah Bengkol bersama I Gusti Ngurah Gede.

Adik dari I Gusti Agung Gede Karang yaitu I Gusti Agung Nyoman Karang kembali menyerang Jembrana beberapa tahunnya. Perang terjadi di Bajo Awen. Karena I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ngurah Bengkol sudah lanjut usia dan tidak dapat menahan serangan lawan akhirnya beliau berdua wafat di daerah “Bajo Awen”.

I Gusti Agung Nyoman Karang menang dan berkuasa selama 4 tahun, kekuasaannya berakhir karena tidak mendapat dukungan dari rakyat Jembrana. Dan rakyat sering memberontak di pimpin oleh turunan Satria dan Arya terdahulu. Setelah berakhirnya kekuasaan Raja Buleleng dan kemudian I Gusti Ngurah Putu Dorok ( Dinasty Pancoran ) kembali diangkat menjadi Punggawa ( Wakil Raja ). I Gusti Agung Gede Seloko kembali dari Banyuwangi ke Jembrana, mulai bersama sebagai Raja di Puri Ageng Negara. Selang beberapa lama datanglah menghambakan diri bekas punggawa dari Buleleng yaitu I Gusti Made Pasekan dan ditempatkan di Daerah Menega ( Jro Pasekan ).

Politik  Ekonomi Jembrana tahun 1840 – 1855 M, I Gusti Agung Gede Seloko sewafatnya di gantikan oleh anaknya I Gusti Agung Made Rai dari Jro Anom. Dan I Gede Watulepang sebagai kepala pengawal kerajaan.

Pada tahun 1787 M, Belanda mengalahkan Buleleng kemudian wakil Gouverment di Singaraja. Sarif Abdulah menjadi menjadi Tua di beri nama Syarif Tua.

Persaingan ekonomi antara Bandar dan Penguasa merembes ke persaingan politik. Persaingan ekonomi dan politik yang kacau balau di pakai kesempatan oleh oknum-oknum yang memancing di air keruh. Raja I Gusti Agung Putu Ngurah terlalu lemah dan mempercayakan atau terlalu percaya pada orang lain yaitu Mentri Kerajaan ( I Gusti Made Pasekan). Patih atau kepala pasukan I Gusti Agung Made Rai berusaha mengatasi keadaan wibawa kerajaan.

 

Revolusi Perebutan Kekuasaan

Menteri Kerajaan I Gusti Made Pasekan ( Jro Pasekan ) mencetuskan Revolusi terhadap kerajaan dan di bantu Syarif Tua dan sebagian rakyat I Gusti Agung Made Rai dengan pasukan yang lebih besar dan kuat di bantu oleh para Arya yang setia melawan dengan gigih, perang terjadi di Bale Timbang dan sekitarnya. Berdentum-dentum meriam dua belah pihak. Pertempuran tidak ada kalah menang. Maka diaturlah siasat oleh Syarif Tua seorang prajurit memasuki Puri sebagai utusan, member kabar bahwa I Gusti Agung Made Rai telah tewas di Bale Timbang. Raja beserta keluarganya di beri kesempatan untuk mrnyingkir. Siasat Syarif Tua termakan hati oleh Raja kemudian dalam suasana kacau balau beliau menyingkir bersama keluarga dan Wakil Raja ke Buleleng. Kemudian Syarif Tua mengirim kabar kepada I Gusti Agung Made Rai bahwa Puri Agung Negara telah menyerah dan member kesempatan untuk melihat keluarganya.

Dengan sangat marah I Gusti Agung Made Rai beserta pasukan memasuki Puri Agung Negara, betapa terkejutnya beliau mendapatkan Puri kosong dan harta benda telah di jarah. Dengan sangat geram mereka menyusul ke buleleng, bertemu di Hutan Dewasana. Terjadilah selisih pendapat, tetapi perbuatan sudah terlanjur dan diambilah keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke Singaraja untuk meminta bantuan kepada Kompeni. Sepeninggal I Gusti Agung Made Rai menyingkir ke Singaraja pertempuran di hentikan, sementara itu pemerintahan kosong dan di pegang I Gusti Made Pasekan.

Sementara itu I Gusti Agung Putu Ngurah, I Gusti Agung Putu Raka dan I Gusti Agung Made Rai di Singaraja setelah beberapa lama I Gusti Agung Putu Ngurah di berangkatkan ke Batavia oleh Belanda dan di beri tempat di Purwakarta. I Gusti Agung Raka dan I Gusti Agung Made rai akan kembali ke Jembrana.

 

Pemerintahan I Gusti Made Pasekan

Pada suatu pesamuan agung di Jembrana yang dihadiri oleh utusan Belanda dari Singaraja dan menayai rakyat siapa turunan dari I Gusti Agung Putu Ngurah disini, tidak seorang rakyat pun menjawab, tetapi seorang yang bernama Ida Made Badera dari Griya Babakan mengakui I Gusti Made Pasekan. Maka ia diangkat oleh Belanda sebagai Regent of Jembrana tahun 1856. Atas restu dari Griya Megati I Gusti Made Pasekan kemudian di nobatkan sebagai Raja Jembrana bergelar I Gusti Agung Ngurah Pasekan dan Patihnya I Gede Perancak.

Sedikit tentang I Gusti Agung Ngurah Pasekan. I Gusti Meranggi Sakti berputra : I Gusti Arak Api berputra : I Gusti Made Pasekan dan berdiam di Menega.

Pada waktu pemerintahan atas kekuasaan Jembrana di alihkan kepada Raja I Gusti Made Agung, maka semua penguasa Den Bukit ( Buleleng ) yang ada di Jembrana di tarik kembali ke Singaraja. I Gusti Made Pasekan di usir oleh rakyat Den Bukit dan kembali ke Jembrana dan mengabdi kepada Raja I Gusti Agung Putu Ngurah dan di beri tempat di Menega.

 

Riwayat Kain Gringsing

Pada suatu hari datanglah sebuah perahu Bugis dari Sumbawa sebagai utusan membawa Pusaka Geingsing untuk hadiah kepada I Gusti Agung Putu Ngurah di Puri Agung Negara. Perahu berlabuh di Kuala Perancak. Setelah diketahui tentang maksud dan tujuannya oleh I Gusti Agung Ngurah Pasekan, perahu beserta anak buahnya di hancurkan dan muatannya disita beserta kain gringsingnya. Oleh karena membunuh utusan dianggap dan merupakan dosa arwah nakhodanya dibuatkan sebuah keramat di Perancak dan di sungsung oleh keluarga I Gusti Agung Ngurah Pasekan.

Penyerangan dan penghancuran dilakukan oleh I Gede Perancak atas suruhan I Gusti Agung Ngurah Pasekan. Nakhodanya adalah merupakan orang pilihan yang sulit dikalahkan. Beliau memiliki jurus silat tingkat tinggi. Tetapi karena terlalu banyak pasukan kerajaan yang menyerang, akhirnya beliau menyerah dan terbunuh di Perancak.

Semasa pemerintahan I Gusti Agung Ngurah Pasekan sering terjadi pemberontakan. Putra beliau sering membuat keonaran. Pencurian, Perampokan sering terjadi. 5 tahun kemudian sejak beliau berkuasa, Bupati Banyuwangi ( Alhadad ) mengundang I Gusti Agung Ngurah Pasekan untuk berkunjung ke Banyuwangi untuk menghadiri sebuah pesta. Beliau dijemput oleh sebuah perahu. Sesampainya di Banyuwangi beliau diterima di Kabupaten, malamnya di undang untuk makan di sebuah kapal angkatan laut Belanda. Tanpa curiga beliau menghadiri jamuan tersebut. Sesuai dengan perjanjian antara Residen Banyuwangi dengan Government Belanda di Singaraja, sementara di dalam perjamuan di sergaplah I Gusti Agung Ngurah Pasekan oleh Komandan Zeemaent, selaku tawanan di bawa ke Batavia menghadap Government General, kemudian ditetapkan untuk menempatkan bersama keluarga di Banyumas.

Bertepatan dengan peristiwa Trik Kolonialisme ini, dua orang punggawa semasa pemerintahan I Gusti Agung Putu Ngurah bernama: Pemekel Mustika dan I Wayan Ucap datang ke Singaraja menghadap Gezaghebert Hindia Belanda di Singaraja. I Gusti Agung Made Rai menerima dan mendengarkan pengaduan punggawa tentang prihal keadaan di Jembrana. Dan permohonan I Gusti Agung Made Rai ingin kembali ke Jembrana di kabulkan oleh VOC ( Government Belanda). Maka berangkatlah I Gusti Agung Made Rai beserta iring-iringan, dilindungi oleh satu pelton serdadu Belanda. Terjadilah di hari-hari berikutnya pembersihan.

Di bentuklah satu pemerintahan baru sesuai dengan undang-undang Hindia Belanda dan di nobatkanlah I Gusti Agung Made Rai menjadi Raja Jembrana bergelar : Anak Agung Made Rai. Membangun puri disebelah utara Puri Ageng Negara yang bernama Puri Agung Negara.

Menjadi Punggawa :

–          Negara                    : I Wayan Ucap

–          Jembrana               : I Gede Nurun

–          Mendoyo                : I Wayan Jambe ( Mekel Jembo)

Kemudian hari utusan Government Belanda di Banyuwangi menerima Beslit Regent kepada Baginda Anak Agung Made Raid an wafat tahun 1906 M.

Sejak itu government Belanda menghapuskan jabatan Regent, susunan konstitusi langsung di pegang oleh seorang Controlier Belanda. Disamping itu di lantik seorang Pedanda Agung yaitu Ida Pedanda Mambal dan dua orang punggawa :

I Gusti Ngurah Pasatan dan I Gusti Ngurah Perancak

Kemudian tahun 1928 cucu A.A Made Rai menjabat Regent di Jembrana bernama Anak Agung Bagus Negara. Tahun 1938 M, Regent Jembrana di nobatkan menjadi Zelfbestuur bergelar : Tuanku Yang Mulia Raja Jembrana. Dan juga Raja Jembrana menjadi anggota raja-raja di Bali.

 

Catatan

Setelah Belanda menguasai seluruh Bali, maka di Bali diberlakukan : STAATBLAT No : 226, Tanggal 1 Juli 1929 selanjutnya dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No : 21, tanggal 7 Juli 1938 Pulau Bali di Bagi menjadi 8 Kerajaan. STAATBLAT No 226. Tanggal 1 Juli 1929 yang mengubah Titel kebangsawanan Raja Bali dalam rangka mencari simpati hati raja Bali.

–          Raja Karangasem, Buleleng dan Jembrana yang semula I Gusti menjadi Anak Agung

–          Bangli dan Gianyar semula I Dewa menjadi Anak Agung

–          Badung dan Tabanan yang semula I Gusti Agung menjadi Cokordo

–          Klungkung yang semula I Dewa menjadi I Dewa Agung.

Demikianlah maka muncul istilah Anak Agung, Cokordo dan I Dewa Agung. Namun patut diketahui titel Anak Agung, Cokorda dan I Dewa Agung bukanlah nama keturunan tetapi gelar yang di berikan oleh Pemerintah Belanda kepada mereka yang diangkat sebagai Raja.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. TREH PANCORAN
  2. BABAD NYUH AYA
  3. SEJARAH BALI
  4. SEJARAH NASIONAL
  5. DWI JENDRA TATWA
  6. SEJARAH DUNIA
  7. BABAD MANIK ANGKERAN
  8. BABAD DALEM
  9. TROWULAN
  10. NON LISAN

PENYUSUN :

  1. I GUSTI NGURAH KADE SUBAMIA ( JRO SANGGING/MANGKU BUDHA NARAYANA)
  2. I GUSTI KOMANG ARYANA ( MANGKU PURA AGUNG PECANGAKAN)
  3. I GUSTI NGURAH KADE REMAWAN ( BENDAHARA KELUARGA)

MENGETAHUI :

  • DADIA AGUNG DINASTY PANCORAN

KETUA                      : I GUSTI NGURAH KADE SINDIA

WAKIL KETUA           : I GUSTI NGURAH KOMANG SUDIRSA, BA

SEKRETARIS            : I GUSTI NGURAH KOMANG ARDANA

 

  • PENGELINGSIR DINASTY PANCORAN
  1. I GUSTI NGURAH PUTU PURWA ( MANGKU AGUNG CANDI BAKUNGAN )
  2. I GUSTI NGURAH KADE MULYA ( MANGKU MERAJAN AGUNG PANCORAN )
  3. I GUSTI NGURAH KETUT BERKA ( PANITIA PEMUGARAN CANDI BAKUNGAN )
  4. I GUSTI NGURAH PUTU BASMA

 

NEGARA, 01 Januari 2012

 

PENYUSUN

 

DINASTY PANCORAN

I GUSTI NGURAH BAGUS MARA ARIASA PUTRA

Tinggalkan komentar